banner-img
lukisan

Homage

I GAK Murniasih


2003

Oil on canvas

59x 39,5cm

Share

I GAK Murniasih

(lahir 1966-2006, Bali, Indonesia)

Lahir di Bali pada tahun 1966, kehidupan awal Murni ditandai dengan kesulitan, pergerakan, dan ketangguhan yang luar biasa. Setelah selamat dari pelecehan seksual yang dilakukan oleh ayahnya ketika ia masih kecil, ia bekerja sebagai pekerja rumah tangga di Ujung Pandang pada usia 10 tahun, menjadi penjahit di Jakarta, kemudian menjadi perajin perhiasan di Bali sebelum akhirnya ia memantapkan diri untuk menjadi seorang seniman. Pada pertengahan usia 20-an, ia berlatih di bawah bimbingan seniman I Dewa Putu Mokoh, yang mengajarinya aliran Pengosekan yang terdiri dari warna-warna pucat tanah, garis-garis hitam yang tebal, serta motif-motif tradisional flora dan fauna. Namun, Murni tetap belajar secara otodidak sebagai seorang seniman. Ia akhirnya mengasah gaya kekanak-kanakannya dengan garis-garis lengkung yang kuat dan warna-warna yang cerah dan berani; dan melepaskan diri dari tema tradisional untuk merangkul tema yang lebih personal dan interior-masa lalunya yang penuh dengan trauma serta mimpi-mimpi yang liar dan hidup.

Menyerah pada arus gambar yang muncul dari alam bawah sadarnya, Murni melukiskan rasa sakit dan fantasinya dengan humor dan kejujuran: benda-benda tajam yang menusuk bagian tubuh yang erotis, hewan dan tumbuh-tumbuhan yang berubah menjadi makhluk asing, misalnya. Dalam dunia Murni, subjek perempuan tanpa malu-malu merangkul kesenangan; tubuh yang amorf dan aneh berubah dari pasif menjadi aktif; makhluk dan objek fantasi yang penuh dengan emosi dan kepercayaan diri manusia; dan bagian tubuh erotis yang berlebihan tampak hidup dan terkadang sakral. Adegan dan motif ini telah digambarkan sebagai sesuatu yang jujur, tanpa filter, berani, aneh, dan mengejutkan. Namun, ketika kita melihat dari kejauhan, mengintip kekuatan dan keragamannya, karya-karyanya melukiskan sebuah gambaran yang mencolok tentang seorang seniman yang membebaskan diri dari konvensi sosial, dari tuntutan dunia seni, dari rasa sakit masa lalu yang sulit, dan dari stereotip tentang apa yang dapat diciptakan oleh seorang perempuan, orang Bali, dan seniman.

Tidak dibatasi oleh nilai-nilai sosial dan estetika Bali yang konvensional, Murni tak pelak lagi mengguncang dunia seni rupa Bali pada akhir 1990-an. Karya-karyanya yang mengklaim kembali seksualitas dan tubuhnya, yang terluka oleh trauma pemerkosaan dan kerja paksa selama bertahun-tahun, sangat kontras dengan budaya yang mengutamakan kemurnian dan kepasifan perempuan. Ekspresi seks dan hasrat yang terbuka dan aneh, terutama oleh perempuan Bali, merupakan hal yang tabu bagi masyarakat lokal. Namun tidak seperti galeri lain di Ubud, Galeri Seniwati, yang memperjuangkan karya-karya semua seniman wanita di Bali, mengakui keunikan dan kekuatan karya seninya. Galeri ini mulai memamerkan karyanya di luar negeri, mengeksposnya kepada audiens di Hong Kong, Australia dan Italia. Menjelang pergantian abad, Murni akhirnya menarik perhatian di negara asalnya. Ia berpameran di ruang-ruang seni yang mapan seperti Rumah Seni Cemeti, di mana para pengamat mulai menginterpretasikan karyanya tidak hanya dari sudut pandang kehidupannya, tetapi juga dalam kaitannya dengan trauma kolektif yang terjadi pada masa pasca-Orde Baru di Indonesia.

Sejak kematian Murni pada tahun 2006, karya-karyanya telah dipuji di seluruh dunia karena kekuatan, orisinalitas, dan kemampuannya untuk melampaui stereotip penyintas ketidakadilan. Karya-karyanya telah dipamerkan atau diakuisisi oleh lembaga-lembaga bergengsi seperti Carnegie Museum of Art, National Gallery of Australia, National Gallery of Singapore, Museum of Modern and Contemporary Art in Nusantara (MACAN), dan University of Chicago.